2022 JADI MOMENTUM BPR-BPRS LEPAS LANDAS

Situasi pandemi sepanjang 2021 masih memberikan tekanan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Industri BPR-BPRS terimbas tapi tak menyerah pada keadaan. Dengan berbagai strategi, industri BPR-BPRS pun mampu mencetak pertumbuhan yang positif sebesar 3,01 persen secara year on year (yoy).

 

Akhir tahun 2021 yang lalu, ekonomi Indonesia akhirnya bisa sedikit tersenyum setelah mengalami tekanan hebat di sepanjang tahun 2020. Di tahun 2021 kondisinya mulai sedikit membaik. Ekonomi Indonesia tumbuh 3,01 persen. Lebih tinggi dibanding pencapaian pada tahun 2020 yang mengalami kontraksi pertumbuhan sekitar 2,07 persen. Kontraksi itu disebabkan oleh tekanan pandemi Covid-19, yang membuat banyak bisnis tidak bisa beroperasi secara normal.
 
Termasuk bisnis bank.Sebenarnya perbaikan ekonomi di Indonesia sudah terasa tatkala memasuki triwulan III-2021. Saat itu ekonomi Indonesia sudah memberikan sinyal positif dan mampu tumbuh sebesar 3,51 persen. Pertumbuhan yang ditopang oleh kinerja ekspor itu memang membuahkan hasil. Bahkan kala itu Bank Indonesia juga gencar memperkuat koordinasi dengan Pemerintah guna mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi. Ketua Umum DPP Perbarindo Joko Suyanto mengatakan bahwa keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam mengendalikan pandemic.

 

Kondisi itulah yang membuat BPR-BPRS semakin selektif dalam penyaluran kredit/ pembiayaan. Ekonomi yang melambat telah mempengaruhi demand terhadap produk dan jasa yang ditawarkan BPRBPRS. Padahal kata Joko, saat itu dari sisi ketahanan bank, BPR-BPRS terbilang baik. “Per September 2021, angka CAR BPR 32,01 persen dan LDR di angka 74 persen. Ini juga masih ada ruang yang mencukupi untuk melakukan intermediasi,” jelas Joko. Sementara itu, jumlah BPR-BPRS di tahun2021 mengalami penurunan dibanding tahun 2020. Diakui bahwa sejak tahun 2016 hingga 2021, jumlah BPR-BPRS di Indonesia terus terdegradasi jumlahnya. Misalnya pada 2016 tercatat ada 1.799 BPR-BPRS. Namun pada tahun 2021 jumlahnya sedikit menyusut menjadi 1.646. Berkurangnya jumlah BPRBPRS itu sendiri didominasi akibat adanyatindakan merger atau konsolidasi. Di sisi lain, Dalam lima tahun terakhir, cukup banyak pula BPR yang naik kelas. Hal ini terlihat dari jumlah BPRKU 1 berkurang 300 BPR, dan BPRKU 3 bertambah sebanyak 35 BPR.
 

Menyangkut persaingan bisnis ke depan, Joko Suyanto mengingatkan kepada seluruh BPR-BPRS di Indonesia untuk tanggap terhadap persaingan yang semakin ketat. “Bagaimana tata kelola yang optimal, kualitas dan kuantitas SDM yang memadai, serta ketersediaan infrastruktur teknologi menjadi penting bagi industri BPR-BPRS,” kata Joko. Sejurus dengan itu, Joko juga mengimbau kepada seluruh BPR-BPRS di Indonesia untuk melakukan transformasi bisnis. Sebab kata Joko, ke depan industri BPR-BPRS harus mampu menjawab keinginan pasar. Selain transformasi, industri BPR-BPRS juga harus secara cermat memperhatikan dan mempertimbangkan segmen milenial sebagai salah satu sasaran bisnisnya. “Kami berpandangan bahwa ke depan BPR-BPRS juga harus hybrid dalam berbisnis. Para milenial juga harus dipertimbangkan sebagai going concern bisnis BPR-BPRS,” imbuh Joko.

ROADMAP PENGEMBANGAN BPR-BPRS
Di tempat terpisah, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Heru Kristiyana juga mengatakan bahwa kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) masih menunjukkan pertumbuhan positif meski di tengah pandemi Covid-19. Kata Heru, hal tersebut menunjukkan bahwa industri BPR-BPRS tetap tangguh.
 

“Kita melihat pertumbuhan aset, DPK (Dana Pihak Ketiga) dan kredit atau pun di BPR & BPR Syariah melandai sejak awal pandemi Covid. Namun demikian kita masih melihat dana pihak ketiga, aset, maupun kredit masih menunjukkan pertumbuhan yang positif,” ujar Heru dalam acara Launching Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025.
 

November 2021 yang lalu, Otoritas Jasa Keuangan secara resmi meluncurkan Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia (RP2I) 2021 -2025 bagi industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Dirilisnya “peta jalan” itu ditengarai untuk meningkatkan peran sekaligus kontribusi BPR dan BPRS bagi masyarakat dan perekonomian di daerah. Dalam penjelasannya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan bahwa roadmap tersebut merupakan pedoman bagi industri BPR dan BPRS termasuk otoritas, instansi atau lembaga terkait untuk semakin mengembangkan industri BPR dan BPRS.
 

Roadmap ini akan menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan ke depan dan menjadi arah jalan untuk menghadapi berbagai tantangan dan peluang untuk mewujudkan industri BPR dan BPRS menjadi bank yang agile, adaptif, kontributif dan resilient dalam memberikan akses keuangan kepada UMK dan masyarakat di daerah,” kata Heru.
 
OJK sendiri dalam roadmap tersebut memberikan ruang bagi BPR dan BPRS untuk menyalurkan kredit/pembiayaan kepada debitur di luar wilayah operasionalnya. Dan itu bisa dilakukan dengan mekanisme kolaborasi dengan fintech lending dengan skema many to one dalam bentuk sindikasi antar-BPR, yang memiliki jaringan kantor pada wilayah domisili dan atau lokasi usaha calon peminjam.
 
Melalui langkah terobosan ini diharapkan BPR-BPRS dapat berkolaborasi dengan seluruh industri di sektor jasa keuangan. Dengan begitu, nantinya BPR dan BPRS dapat berkembang guna meningkatkan inklusi keuangan atau akses keuangan di wilayahnya masing-masing.
 
Ada 4 pilar utama yang diusung ada dalam roadmap industri BPR dan BPRS. Pertama terkait dengan penguatan struktur dan keunggulan kompetitif. Kedua menyangkut akselerasi transformasi digital. Ketiga adalah penguatan peran BPR dan BPRS di wilayahnya masingmasing. Dan terakhir adalah penguatan pengaturan, perizinan dan pengawasan, dimana pilar keempat ini adalah peran dari OJK selaku otoritas.
 
OJK juga mendorong upaya digitalisasi BPR-BPRS yang dilakukan secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan institusi/lembaga seperti Bank Umum, fintech lending dan perusahaan fintech lainnya, e-commerce maupun ekosistem digital lainnya. Untuk mendukung keberhasilan implementasi roadmap tersebut, ditetapkan juga empat pilar perangkat
pendukung. Pertama, kepemimpinan dan manajemen perubahan yang memiliki komitmen tinggi. Kedua, infrastruktur teknologi informasi yang memadai. Ketiga, kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. Keempat sinergi dan kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan.

Share your thoughts